Langsung ke konten utama

Ukhuwah (Persaudaraan)

Rasulullah saw bersabda: “Ada sebagian hamba Allah, mereka bukan para rasul Allah ataupun nabi, juga bukan para syuhada, tapi dirindukan oleh para rasul Allah, para Nabi, dan para syuhada karena kedudukan mereka yang dekat dengan Allah di akhirat kelak.” Maka para sahabat nabi pun bertanya: “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah kemudian menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai disebabkan rahmat Allah, bukan dasar kerabat dan bukan karena harta yang mereka saling berikan. Demi Allah, wajah-wajah mereka begitu bercahaya bahkan sangat bercahaya. Mereka tidak takut disaat manusia takut dan mereka tidak sedih pada saat manusia lain sedih dalam menghadapi kesempitan dan kesulitan hidup. (HR At Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Hibban)

Ketika senja itu mulai tampak di Madinah, begitu juga dengan jajaran pergunungan Uhud yang mulai tampak memerah. Suatu pemandangan yang menakjubkan. Hamba itu teringat akan Rasulullah yang sering memandangi gunung Uhud ketika senja menerpa. Satu saat terlontar dari lisan Rasulullah saw, “Allah memuliakan gunung Uhud.” Rasulullah juga banyak memakai perumpamaan gunung Uhud untuk menjelaskan sesuatu mengenai harta ataupun balasan sedeqah.

Sore itu, beribu-ribu manusia berusaha memasuki Masjid Nabawi yang megah dan agung itu untuk berbuka puasa. Ada sebuah kebiasaan setiap bulan ramadhan, Masjid Nabawi menjadi tempat jamuan berbuka yang bermeter-meter panjangnya. Sumber hidangannya berasal dari sedeqah siapa saja yang ingin. Dan tidak jarang mereka yang bersedeqah mempersiapkan pelayan-pelayan yang begitu ramah di dalam masjid.

Hamba itu memasuki salah satu pintu dari masjid Nabawi dari arah gunung Uhud setelah puas melihat keindahannya. Ketika salawat kepada Nabi baru saja selesai dilantunkan dan doa masuk masjid belum sempat diucapkan, dua orang ‘pelayan orang yang berbuka’ itu menarik tangannya dengan lembut ingin mempersilahkannya duduk diantara jamuan yang agung itu. Raut wajah mereka begitu ramah sambil mengucap ‘ahlan wa sahlan’. Hamba itu pun duduk. Di depannya begitu banyak makanan yang terhidang, mulai dari kurma yang bernama ambar dan ajwa, yougurt, roti dan minuman berupa susu dan teh arab yang pekat. Suasananya begitu hening dan menentramkan.

Ketika adzan itu berkumandang, semua yang hadir begitu khusyu’ berdoa sebelum berbuka seolah ingat akan sabda Rasulullah Saw:  “Tidak ada yang paling membuat seorang mukmin bahagia selain ketika ia berbuka dan ketika kelak ia berjumpa dengan Rabb nya. Perbanyaklah doa karena seseorang yang berdoa ketika ia berbuka tidak akan tertolak.” (HR Muslim)

Para ‘pelayan orang berbuka’ tadi terus melayani para tamunya yang duduk dalam jamuan. Mereka menuangkan minuman, memastikan bahwa roti ataupun yougurt tetap dapat dinikmati oleh tamu-tamunya. Sesama tamu dalam jamuan pun saling mempersilahkan satu sama lain. Begitu indah suasananya. Tidak lama hal ini berselang, masing-masing orang menyadari mereka harus siap-siap untuk menunaikan ibadah: Pengertian ibadah dapat ditemukan melalui pemahaman bahwa : Kesadaran beragama pada manusia membawa konsekwensi manusia itu melakukan penghambhaan kepada tuhannya. Dalam ajaran Islam manusia itu diciptakan untuk menghamba kepada Allah, atau dengan kata lain beribadah kepada Allah (Adz-Dzaariyaat QS. 51:56). Manusia yang menjalani hidup beribadah kepada Allah itu tiada lain manusia yang berada pada shiraathal mustaqiem atau jalan yang lurus (Yaasiin QS 36:61) Sedangkan manusia yang berpegang teguh kepada apa yang diwahyukan Allah, maka ia berada pada shiraathal mustaqiem atau jalan yang lurus (Az Zukhruf QS. 43:43).  Dengan demikian apa yang disebut dengan manusia hidup beribadah kepada Allah itu ialah manusia yang dalam menjalani hidupnya selalu berpegang teguh kepada wahyu Allah. Jadi pengertian ibadah menurut Al Quran tidak hanya terbatas kepada apa yang disebut ibadah mahdhah atau Rukun Islam saja, tetapi cukup luas seluas aspek kehidupan yang ada selama wahyu Allah memberikan pegangannya dalam persoalan itu.  Itulah mengapa umat Islam tidak diperkenankan memutuskan suatu persoalan hidupnya sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan perkara itu (Al Ahzab QS. 33:36). Tanpa diberitahu dan diperintah masing-masing orang mulai membersihkan jamuan tersebut untuk tempat sholat. Mereka saling bahu membahu bersama. Dan ketika iqamah dikumandangkan, tempat tersebut telah bersih dan masing-masing orang meluruskan dan merapatkan barisannya untuk menghadap Illahi Rabbi



Ketika berada di Masjidil Haram, hamba itu berusaha mengikuti sholat tarrawih dengan khusyu’. Bacaan sholat yang begitu panjang tak menjadi penghalang baginya. Tanpa disadari disebelahnya ada seorang arab yang masih memakai ihram. Disela-sela salam diantara dua rakaat tarawih, ia tersenyum kepada hamba itu.

Sampailah di rakaat ketika sang imam membaca ayat:

“Telah dekat terjadinya hari kiamat,  tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah. Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu tertawa dan tidak menangis? Sedang kamu melalaikannya? Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (QS An Najm [53]:57-62)

Saat itu airmata tidak tertahankan lagi. Sang imampun berusaha menekan suaranya yg mendadak parau oleh tangisan. Ada jeda yang panjang saat itu. Sebahagian yang mengerti akan ayat ini menangis dihadapan Rabb mereka Yang Maha Agung. Tak terasa air mata terus mengalir sampai akhir sholat. Ketika selesai salam, teman arab yang masih memakai ihram tadi bertanya dalam bahasa arab yang tidak lazim. Hamba itu bingung menjawabnya. Seolah tahu akan kemampuan lawan bicaranya, teman arabnya itu kemudian bertanya lagi dalam bahasa inggris yang baik:

“Kenapa Engkau menangis.” Hamba itu menjawab, “Karena aku mencintai Rabb ku Yang Maha Agung.”

Teman arabnya kemudian bertanya lagi “Engkau mengerti surah apa yang dibaca oleh imam tadi?” Hamba itu mengangguk dan berkata, “Akhir surah An Najm, salah satu surah yang sering Rasulullah Saw baca di akhir malam dan salah satu surah yang aku sukai.” Ia tersenyum dan berkata, “Masya Allah” engkau benar-benar mencintai Rabb mu.”

Secara spontan mereka berpelukan seolah sahabat lama yang telah lama tidak berjumpa. Ada kesenduan dan kerinduan dalam hati mereka masing-masing akan Allah Azza wa Jalla yang selalu menjadi tujuan disetiap ibadah yang dilakukan dan hidup yang dijalani. Begitu damai malam itu bagi hamba itu. Suatu malam yang tidak pernah terlupakan sepanjang hidupnya.

Pernahkah kita menyadari, hal-hal yang terindah dalam hidup kita adalah ketika kita menghubungkan tali silaturrahim diantara kita karena Allah? Kita saling mengasihi, saling tolong menolong, saling memberi walaupun hanya sekedar senyuman, saling bertegur sapa dan saling bersenda gurau dengan kesantunan. Kita menghormati orang lain dan selalu berusaha membahagiakan mereka. Semua itu terasa begitu indah.

Postingan populer dari blog ini

SAYYIDUL ISTIGHFAR (Bacaan Istighfar Yang Paling Utama)

Allohumma annta robbii laaaaaa ilaaha illaaaaaa annth Kholaqtanii wa ana ‘abduk Wa ana ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika mastatho’th A’uudzubika minn syarri maa shona’th Abuuuuuu-u laka bini’matika ‘alayy Wa abuuuuuu-u   bidzamm-bii Faghfirlii fainnahuu laa yaghfirudz-dzunuuba illaaaaaa annth Artinya : Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. (Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6306 dan 6323), at-Tirmidzi (no. 3393), an-Nasa’i (no. 5522) dan lain-lain.) Faedah dari bacaan ini adalah sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dari lanjutan hadits di atas, “Barangsiapa yang...

Kajian Rutin Muslimah: Pentingnya Kesehatan Mental Pada Ibu

Kesehatan mental ibu memiliki peran yang sangat krusial dalam kehidupan keluarga. Ibu yang memiliki kesehatan mental yang baik akan mampu memberikan kasih sayang, perhatian, dan pengasuhan yang optimal bagi anak-anaknya. Sebaliknya, ibu yang mengalami gangguan kesehatan mental dapat kesulitan dalam menjalankan perannya sebagai seorang ibu. Kesehatan mental ibu mencakup tiga dimensi utama: Kesehatan mental: Meliputi kondisi emosional, psikologis, dan sosial seseorang. Ini mencakup bagaimana seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku. Kesehatan fisik: Kondisi fisik yang baik mendukung kesehatan mental. Kesehatan sosial: Kualitas hubungan dengan orang lain, termasuk keluarga, teman, dan komunitas. Sedangkan faktor yang dapat memicu gangguan kesehatan mental pada ibu antara lain:  Kurangnya dukungan sosial: Kurangnya dukungan dari keluarga, teman, atau komunitas dapat meningkatkan risiko gangguan mental.  Ketidakpuasan pernikahan: Masalah dalam hubungan pernikahan dapat menjadi s...

Letak/Posisi Imam & Makmum Sholat

Untuk menjadi makmum yang baik, haruslah mengenal hukum-hukum shalat berjamaah dan bermakmum dengan benar. Karena itu dalam kesempatan ini Nasyiah akan membahas posisi makmum dalam shalat bersama imam, dimana poin-poinnya sebagai berikut: 1.     Bila makmum satu orang, maka makmum berdiri di samping kanan imam.  Berdasarkan hadits Ibnu Abbas, disebutkan: "Nabi juga berdiri dan shalat, maka akupun berdiri disebelah kiri Beliau. Beliau menarik daun telingaku dan memutar badanku berpindah ke sebelah kanan Beliau." (HR. Bukhari No. 6316 dan Muslim No. 763) Hadits ini menunjukkan bahwa apabila makmum itu satu orang, maka posisinya sejajar dengan imam dan di sebelah kanan imam, tidak lebih ke depan dan tidak lebih ke belakang. Karena Nabi juga pernah mengatakan kepada Ibnu Abbas : "Jangan engkau berdiri lebih ke belakang …" (penjelasan shahih AlBukhari Hadits No. 697) 2.     Jumlah Makmum Dua Orang atau Lebih, maka makmum berdiri di belakang imam....