Langsung ke konten utama

Menggaruk-garuk Saat Sholat, Batalkah ?

Seringkali kita sendiri atau saudara kita terlihat menggaruk-garuk kepala, merapikan baju atau melakukan gerakan lainnya dalam shalat yang sebenarnya bukan darurat. Apakah banyak gerak itu membatalkan shalat? Adakah jumlah gerakan yang membuat shalat seseorang menjadi batal?
Perlu diketahui –saudariku- bahwa hukum asal bergerak (di luar gerakan shalat) adalah terlarang kecuali jika ada hajat (kebutuhan). Namun perlu diketahui bahwa gerakan dalam shalat (di luar gerakan shalat) itu ada lima macam:
1.       Gerakan yang diwajibkan.
2.       Gerakan yang diharamkan.
3.       Gerakan yang dimakruhkan.
4.       Gerakan yang disunnahkan.
5.       Gerakan yang hukumnya mubah (boleh saja).

Gerakan yang diwajibkan, misalnya adalah ketika seorang yang sedang shalat memperhatikan di penutup kepalanya ada najis, maka ia bergerak untuk memindahkannya dan ia melepas penutup kepalanya tersebut.

Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu datang malaikat Jibril sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang melaksanakan shalat berjama’ah dengan yang lainnya. Lalu Jibril memberitahukan bahwa di sendal beliau ada najis. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencopotnya sedangkan beliau shalat dan beliau terus melanjutkan shalatnya. (HR. Abu Daud no. 650. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ 284)

Contoh lainnya adalah ketika seseorang salah menghadap kiblat lalu ada yang mengingatkan, maka ia harus berpaling atau memutar badannya ke arah kiblat. Gerakan ini adalah wajib.

Gerakan yang diharamkan adalah gerakan yang memenuhi tiga syarat: (1) gerakannya banyak, (2) berturut-turut, dan (3) dilakukan bukan dalam keadaan darurat. Gerakan semacam ini adalah gerakan yang membatalkan shalat karena tidak boleh dilakukan saat itu. Perbuatan semacam ini termasuk mempermainkan ayat-ayat Allah.

Gerakan yang disunnahkan adalah gerakan untuk melakukan perbuatan yang hukumnya sunnah dalam shalat. Seperti misalnya seseorang ketika shalat bergerak untuk meluruskan shaf. Atau ia melihat ada tempat yang kosong di depannya, lalu ia bergerak maju ke depan untuk mengisi kekosongan. Perbuatan ini termasuk sunnah dalam shalat karena dalam rangka menyempurnakan shalat. Dalil dari hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itu, ia berdiri di sebelah kiri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik kepala Ibnu ‘Abbas dari belakangnya dan menjadikannya di sebelah kanan beliau. (Hadits Muttafaqun ‘alaih)

Gerakan yang dikatakan mubah (boleh) adalah gerakan yang sedikit karena ada hajat (butuh) atau gerakan yang banyak karena darurat. Contoh gerakan yang sedikit karena ada hajat adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat sambil menggending Umamah binti Abil ‘Ash, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Zainab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kakeknya dari ibunya. Ketika itu beliau berdiri sambil menggendongnya dan ketika sujud beliau meletakknya. (HR. Bukhari no. 5996 dan Muslim no. 543)

Adapun gerakan yang mubah, banyak dan dalam kondisi darurat, contohnya adalah shalat dalam keadaan perang. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ* فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah: 238-239)

Shalat ketika perang itu bisa sambil berjalan. Orang yang shalat seperti ini tentu gerakannya banyak, namun seperti itu dibolehkan karena darurat.

Gerakan yang dimakruhkan adalah gerakan selain yang disebutkan di atas, yaitu hukum asal gerakan (di luar gerakan shalat), adalah dimakruhkan.  Oleh karena itu, kita katakan pada orang yang bergerak sana-sini dalam shalat, gerakannya itu makruh,  mengurangi kesempurnaan shalat. Jadi jika ada yang melihat-lihat jam, menggaruk-garuk kepalanya, memegang hidungnya, menyentuh-nyentuh jenggotnya, atau semisal itu, ini asalnya hukumnya makruh. Kecuali jika gerakan tersebut terlampau banyak dan berturut-turut, maka itu bisa jadi membatalkan shalat.

Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa gerakan yang membatalkan shalat tidak bisa kita katakan bahwa jika melakukan sekian gerakan (dengan jumlah bilangann tertentu), maka shalatnya batal. Yang benar, tidak ada batasan jumlah gerakannya. Yang jelas, banyaknya gerakannya adalah kuantitas banyak yang menafikan (membatalkan) shalat dan itu secara ‘urf (kebiasaan) dinilai sudah terlampau banyak. Jadi jika seseorang dalam shalat bergerak sana-sini, lalu orang-orang melihatnya, ini seakan-akan bukan orang yang sedang shalat karena saking banyaknya gerakan yang ia lakukan, maka shalatnya batal. Sebagian ulama menyatakan gerakan yang membatalkan adalah jika sudah tiga kali geraknya, ini butuh dalil. Karena siapa saja yang membatasinya dengan bilangan tertentu atau cara tertentu, harus mendatangkan dalil.

Postingan populer dari blog ini

SAYYIDUL ISTIGHFAR (Bacaan Istighfar Yang Paling Utama)

Allohumma annta robbii laaaaaa ilaaha illaaaaaa annth Kholaqtanii wa ana ‘abduk Wa ana ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika mastatho’th A’uudzubika minn syarri maa shona’th Abuuuuuu-u laka bini’matika ‘alayy Wa abuuuuuu-u   bidzamm-bii Faghfirlii fainnahuu laa yaghfirudz-dzunuuba illaaaaaa annth Artinya : Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. (Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6306 dan 6323), at-Tirmidzi (no. 3393), an-Nasa’i (no. 5522) dan lain-lain.) Faedah dari bacaan ini adalah sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dari lanjutan hadits di atas, “Barangsiapa yang...

Kajian Rutin Muslimah: Pentingnya Kesehatan Mental Pada Ibu

Kesehatan mental ibu memiliki peran yang sangat krusial dalam kehidupan keluarga. Ibu yang memiliki kesehatan mental yang baik akan mampu memberikan kasih sayang, perhatian, dan pengasuhan yang optimal bagi anak-anaknya. Sebaliknya, ibu yang mengalami gangguan kesehatan mental dapat kesulitan dalam menjalankan perannya sebagai seorang ibu. Kesehatan mental ibu mencakup tiga dimensi utama: Kesehatan mental: Meliputi kondisi emosional, psikologis, dan sosial seseorang. Ini mencakup bagaimana seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku. Kesehatan fisik: Kondisi fisik yang baik mendukung kesehatan mental. Kesehatan sosial: Kualitas hubungan dengan orang lain, termasuk keluarga, teman, dan komunitas. Sedangkan faktor yang dapat memicu gangguan kesehatan mental pada ibu antara lain:  Kurangnya dukungan sosial: Kurangnya dukungan dari keluarga, teman, atau komunitas dapat meningkatkan risiko gangguan mental.  Ketidakpuasan pernikahan: Masalah dalam hubungan pernikahan dapat menjadi s...

Letak/Posisi Imam & Makmum Sholat

Untuk menjadi makmum yang baik, haruslah mengenal hukum-hukum shalat berjamaah dan bermakmum dengan benar. Karena itu dalam kesempatan ini Nasyiah akan membahas posisi makmum dalam shalat bersama imam, dimana poin-poinnya sebagai berikut: 1.     Bila makmum satu orang, maka makmum berdiri di samping kanan imam.  Berdasarkan hadits Ibnu Abbas, disebutkan: "Nabi juga berdiri dan shalat, maka akupun berdiri disebelah kiri Beliau. Beliau menarik daun telingaku dan memutar badanku berpindah ke sebelah kanan Beliau." (HR. Bukhari No. 6316 dan Muslim No. 763) Hadits ini menunjukkan bahwa apabila makmum itu satu orang, maka posisinya sejajar dengan imam dan di sebelah kanan imam, tidak lebih ke depan dan tidak lebih ke belakang. Karena Nabi juga pernah mengatakan kepada Ibnu Abbas : "Jangan engkau berdiri lebih ke belakang …" (penjelasan shahih AlBukhari Hadits No. 697) 2.     Jumlah Makmum Dua Orang atau Lebih, maka makmum berdiri di belakang imam....