Langsung ke konten utama

Macam-Macam Najis & Cara Membersihkannya, Bagian II : Darah Haid & Nifas

Kedua hal ini telah sangat dikenal oleh kaum perempuan, dimana kita biasa menjumpai keduanya, dan tidak diragukan lagi bahwa darah haidh dan nifas terhukumi sebagai najis

Cara mensucikan darah haidh dan nifas adalah dengan membasuhnya dan mengusapnya dengan air hingga bekas darah tersebut hilang.

Berkenaan dengan darah haidh yang terkena pakaian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan tata cara menyucikannya,
تحته ثم تقر صه بالماء وتنضحه وتصلي قيه
“Menyikat, lalu menguceknya dengan air kemudian menyiramnya, dan baru setelah itu boleh mengerjakan shalat dengan mengenakan (pakaian tersebut).” (Shahih, riwayat Bukhari (no. 227) dan Muslim (no. 240 dan 291))

Adapun jika setelah dicuci dan digosok dengan air dan sabun, darahnya masih membekas maka hal ini tidak menjadi masalah, berdasarkan riwayat berikut,
عن أبي هريره رضي الله عنه, أن خولة بنت يسار قالت, يا رسول الله ليس لي إلا ثوب واحـد وأنا أحيض فيه؟ قال فإذا طهرت فاغسلى موضع الـدم ثم صلي فيه, فقالت يا رسول الله إن لم يخرج أثر؟ قال, يكفـيــك الماء ولا يضرك أثره.
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Khaulah binti Yasar berkata, ‘Ya Rasulullah, aku hanya mempunyai satu potong pakaian, dan (sekarang) saya haidh mengenakan pakaian tersebut.’

Maka Rasulullah menjawab, ‘Apabila kamu telah suci, maka cucilah yang terkena haidhmu, kemudian shalatlah kamu dengannya.’
Ia bertanya, ‘Ya Rasulullah, (bagaimana) kalau bekasnya tidak bisa hilang?’
Rasulullah menjawab, ‘Cukuplah air bagimu (dengan mencucinya) dan bekasnya tidak membahayakan (shalat)mu.’” (Shahih, riwayat Abu Dawud dalam Shahih-nya (no. 351) dan ‘Aunul Ma’bud (II/26 no. 361), al-Baihaqi (II/408))

*Catatan:
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum darah manusia selain darah haidh dan darah nifas, serta hukum darah binatang yang dagingnya halal untuk dimakan. Sebagian ulama berpendapat bahwa darah secara umum yang keluar dari tubuh manusia dan hewan yang halal dagingnya untuk dimakan, adalah termasuk dalam kategori najis. Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa darah hukum asalnya adalah suci, dia menjadi haram apabila dimakan, dan tidak dihukumi sebagai najis.

Salah satu ulama yang berpendapat darah termasuk najis adalah Sayyid Sabiq, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Fiqhus Sunnah (I/45-46), yakni darah yang mengalir dari tubuh manusia dan hewan yang halal dagingnya terhukumi sebagai najis, kecuali darah yang sedikit.

Namun, Syaikh Albani telah memberi komentar dan penjelasan dalam kitabnya Tamaamul Minnah (hal. 49-52) berkaitan dengan masalah ini. Syaikh Albani mengatakan bahwa tidak bisa menyamakan hukum darah haidh dengan darah manusia yang lain (selain darah haidh dan nifas) dan darah binatang yang halal dimakan, karena tidak ada dalil dari as-sunnah ash-shahihah, terlebih dari al-Qur’an yang mendukung pernyataan ini. Karena hukum asal darah adalah suci, kecuali ada bukti tekstual yang menyatakan kenajisannya. Dan pernyataan ini juga menyelisihi ketetapan sunnah. Meskipun ada referensi dari beberapa ahli hukum terdahulu dalam membedakan antara darah yang sedikit maupun banyak, namun tidak ada dalilnya dari sunnah, bahkan disebutkan juga dalam sebuah riwayat bahwa Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu pernah dilempari panah oleh orang musyrik ketika sedang shalat di malam hari. Lalu ia mencabutnya, tetapi ia dipanah lagi hingga tiga kali. Ia melanjutkan shalatnya dalam keadaan bercucuran darah. (Hadits marfu’, sebagaimana ditakhrij dalam Shahih Abu Dawud (no.193))

Juga Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma pernah berlumuran darah dan kotoran binatang yang sedang disembelihnya, kemudian ketika shalat mulai ditegakkan, ia melaksanakan shalat tanpa berwudhu’ terlebih dahulu. (Riwayat Abdurrazaq dalam Mushannaf (I/125), Ibnu Abi Syaibah (I/392), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (IX/284) dengan sanad yang shahih)

Syaikh Albani mengatakan, seandainya keluarnya darah yang banyak itu membatalkan shalat pasti Nabi menjelaskannya. Dan seandainya hal ini tersembunyi dari Nabi (yakni tidak diketahui Nabi), pasti Allah mengetahuinya. Maka, jika darah itu membatalkan shalat atau bersifat najis, pasti Allah mewahyukan hal tersebut kepada Nabi. [Lihat juga Fat-hul Baari (I/225)]

Namun demikian, kita harus tetap mengembalikan masalah ini kepada dalil-dalil yang shahih. Dan pendapat yang paling dekat dengan dalil yang shahih, maka itulah yang paling benar.

Wallahu a’lam.

Postingan populer dari blog ini

SAYYIDUL ISTIGHFAR (Bacaan Istighfar Yang Paling Utama)

Allohumma annta robbii laaaaaa ilaaha illaaaaaa annth Kholaqtanii wa ana ‘abduk Wa ana ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika mastatho’th A’uudzubika minn syarri maa shona’th Abuuuuuu-u laka bini’matika ‘alayy Wa abuuuuuu-u   bidzamm-bii Faghfirlii fainnahuu laa yaghfirudz-dzunuuba illaaaaaa annth Artinya : Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. (Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6306 dan 6323), at-Tirmidzi (no. 3393), an-Nasa’i (no. 5522) dan lain-lain.) Faedah dari bacaan ini adalah sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dari lanjutan hadits di atas, “Barangsiapa yang...

Kajian Rutin Muslimah: Pentingnya Kesehatan Mental Pada Ibu

Kesehatan mental ibu memiliki peran yang sangat krusial dalam kehidupan keluarga. Ibu yang memiliki kesehatan mental yang baik akan mampu memberikan kasih sayang, perhatian, dan pengasuhan yang optimal bagi anak-anaknya. Sebaliknya, ibu yang mengalami gangguan kesehatan mental dapat kesulitan dalam menjalankan perannya sebagai seorang ibu. Kesehatan mental ibu mencakup tiga dimensi utama: Kesehatan mental: Meliputi kondisi emosional, psikologis, dan sosial seseorang. Ini mencakup bagaimana seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku. Kesehatan fisik: Kondisi fisik yang baik mendukung kesehatan mental. Kesehatan sosial: Kualitas hubungan dengan orang lain, termasuk keluarga, teman, dan komunitas. Sedangkan faktor yang dapat memicu gangguan kesehatan mental pada ibu antara lain:  Kurangnya dukungan sosial: Kurangnya dukungan dari keluarga, teman, atau komunitas dapat meningkatkan risiko gangguan mental.  Ketidakpuasan pernikahan: Masalah dalam hubungan pernikahan dapat menjadi s...

Letak/Posisi Imam & Makmum Sholat

Untuk menjadi makmum yang baik, haruslah mengenal hukum-hukum shalat berjamaah dan bermakmum dengan benar. Karena itu dalam kesempatan ini Nasyiah akan membahas posisi makmum dalam shalat bersama imam, dimana poin-poinnya sebagai berikut: 1.     Bila makmum satu orang, maka makmum berdiri di samping kanan imam.  Berdasarkan hadits Ibnu Abbas, disebutkan: "Nabi juga berdiri dan shalat, maka akupun berdiri disebelah kiri Beliau. Beliau menarik daun telingaku dan memutar badanku berpindah ke sebelah kanan Beliau." (HR. Bukhari No. 6316 dan Muslim No. 763) Hadits ini menunjukkan bahwa apabila makmum itu satu orang, maka posisinya sejajar dengan imam dan di sebelah kanan imam, tidak lebih ke depan dan tidak lebih ke belakang. Karena Nabi juga pernah mengatakan kepada Ibnu Abbas : "Jangan engkau berdiri lebih ke belakang …" (penjelasan shahih AlBukhari Hadits No. 697) 2.     Jumlah Makmum Dua Orang atau Lebih, maka makmum berdiri di belakang imam....